View project Read more

Setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad tiba, kaum Muslimin bergembira.Masing-masing daerah merayakannya dengan ragam cara, namun tetap satu tujuan. Seperti kemeriahan perayaan Maulid di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin.



Perayaan Maulid di Banua Halat memang tidak biasa. Karena selain pembacaan syair-syair Maulid, disertai dengan prosesi dan ritual budaya Ba ayun Anak, yang karena pelaksanaannya bertepatan dengan perayaan Maulid maka disebut juga Ba ayun Maulid.

Tempat pelaksanaannya tidak sembarangan. Bertempat di Mesjid Al Mukarramah atau biasa disebut Mesjid Keramat, membuat ritual ini menjadi luar biasa. Dengan maksud agar anak senantiasa sehat, cerdas, berbakti kepada orang tua dan taat beragama, sangat kontras dengan tempatnya yang dikeramatkan. Menjadikan ritual ini bukan sekedar ramai, tapi juga sakral dan suci.



Simbol-simbol seperti adanya piduduk (sesajen), janur, wadai 41 (kue tradisional yang terdiri dari 41 macam atau jenis), parapin (dapur kecil tempat membakar dupa atau kemenyan), panginangan, banyu putih dalam galas dan minyak likat baburih yang tetap disertakan pada prosesi budaya Ba-ayun Anak. Sama persis dengan yang ada pada prosesi adat Aruh Ganal di masyarakat Dayak Meratus.


Sebelumnya, pada budaya pra-Islam di tanah Banjar telah berkembang budaya yang serupa dengan ba ayun anak. Dimana pada masyarakat dulu di kenal adanya prosesi ba ayun wayang, ba- ayun topeng dan ba ayun madihin. Pada prosesi ba ayun wayang dan ba ayun topeng, ritual didahului dengan pertunjukan wayang dan topeng. Sedang pada ba ayun madihin, prosesi diikuti dengan melantunkan syair Madihin.



Seiring dengan transpormasi budaya yang terjadi dan perkembangan zaman, membuat budaya tersebut di rasa tidak lagi mempunyai pengaruh atau efek bila tidak dilakukan. Serupa dengan tradisi ma ayun anak dengan bapukung (menidurkan anak dalam posisi didudukkan dalam ayunan, red) yang kini banyak ditinggalkan. Namun pada masyarakat di Hulu Sungai, masih dapat ditemui tradisi ini.



… guring, anakku guring

Anakku pintar, dalam ayunan

Matanya kalat, nang handak guring…



Alunan syair tembang seperti di atas biasanya dilantunkan saat mangguringakan (menidurkan) anak sambil bapukung dalam ayunan. Namun pada perkembangannya, syair-syair tradisional seperti itu sudah tergantikan dengan syair dan alunan shalawat. Seperti itu jugalah yang terjadi pada proses pembentukan budaya ba ayun anak atau ba ayun maulid di Banua Halat.

Kekeramatan masjid Banua Halat diantaranya erat kaitannya dengan kepercayaan berupa mitos yang berkembang khususnya di kalangan orang Dayak Meratus di pegunungan Meratus daerah Tapin yang menyatakan bahwa orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu sesungguhnya “badangsanak” (mempunyai ikatan darah; genealogis) karena berasal dari keturunan dua bersaudara kandung: Intingan dan Dayuhan yang berasal dari Banua Halat.

Keyakinan adanya “hubungan genealogis” itu dapat ditelusuri dari adanya Mitos Intingan dan Dayuhan berhubungan yang dengan pembangunan Masjid Banua Halat. Orang Dayak Meratus mempercayai bahwa Masjid Banua Halat dahulunya dibangun oleh Intingan, yakni saudara kandung Dayuhan; nenek moyang mereka.




Perhatikan tahapan prosesi ba ayun anak ini. Ayunan di buat tiga lapis, dengan kain sarigading (sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga.




Tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, hiasan dari wadai 41 seperti cucur, cincin, pisang, nyiur dan lain-lain. Orang tua yang melaksanakan ba ayun diharuskan menyiapkan piduduk berupa beras, gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung), banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh).



Ritual dimulai dengan membaca syair Maulid Al Habsy, Maulid Ad Diba’i atau Maulid Al Barzanji. Dilanjutkan dengan pembacaan Manakib Wali Allah, ceramah agama dan di tutup dengan do’a. Kemudian para Habib, Ulama dan umara menapung tawari (memberkati) peserta ba ayun anak dengan diiringi pembacaan Sholawat Badar.



Semua posesi itu menandakan betapa budaya dasar yang di anut dalam prosesi ba ayun anak masih terjaga. Sehingga, ikatan budaya secara emosional antara urang Banjar dan Dayak, senantiasa terjalin harmonis, meski dengan baju yang berbeda.

Ritual ba ayun anak menjadi sebuah prosesi yang sangat unik. Manakala peserta yang ikut bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa bahkan yang berusia lanjut.



Tujuan orang dewasa ikut ba ayun itu beragam. Ada yang sekedar ikut-ikutan dan ada pula karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah serta sebagai ucapan syukur setelah hajatnya terkabul.

Pada Maret 2008, Baayun Anak masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak se-Indonesia. Jumlah peserta pada waktu itu sebanyak 1.544 orang, terdiri dari 1.643 anak-anak dan 401 orang dewasa. Peserta tertua Hj Masriah (75) dari Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan termuda seorang bayi yang baru berumur 4 hari.

Pada Tahun 2011, baayun maulid diikuti peserta seluruhnya sebanyak 3.741 orang yang terdiri dari 1.714 anak-anak dan 2.027 dewasa.

Seorang wanita berusia 100 tahun juga menjadi peserta beliau bernama Rabiah, warga Desa Linuh, Kecamatan Bungur, Tapin, yang bernadzar akan ikut Baayun Maulid bila diberi Allah umur yang panjang hingga 100 tahun, Peserta termuda dalam ritual ini adalah bayi berusia 40 hari, Ardian, warga Desa Banua Halat Kiri.

Tujuan mengikuti ritual Baayun Maulid beragam, dari menunaikan nazar, bernazar, sebagai wujud syukur karena sembuh dari sakit maupun sekadar ikut meramaikan saja. Sedangkan tujuan sebenarnya dari ritual tersebut adalah agar yang ikut Baayun Maulid senantiasa berkecukupan secara ekonomi, kuat ingatan dalam mempelajari ilmu agama, dilimpahkan kebahagiaan dan memiliki keteguhan iman.

Para peserta bukan hanya penduduk Desa Banua Halat atau warga Kota Rantau, tetapi datang dari seluruh Kalimantan. Berdasarkan data pendaftaran dari panitia pelaksana, tercatat peserta dari pulau Jawa dan Sumatra. Bahkan ada peserta yang berasal dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Menariknya, dari daftar peserta itu terdapat pula orang Dayak yang nota bene masih menganut agama kepercayaan Kaharingan.

Melalui ritual itu, akan terasa sebuah kesadaran yang kadang berada di bawah sadar, dan jalinan tertentu bahwa mereka memiliki ikatan kultural. Hubungan emosional masa lalu yang masih dipertahankan, menimbulkan kesadaran budaya yang sama.

Secara keseluruhan, tradisi yang dilakukan secara massal ini merupakan pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Di samping kiri mimbar masjid ini terdapat sebuah tiang yang dikeramatkan. Tiang Guru dari kayu ulin ini setinggi lebih dari empat meter..Keunikan dari batang ulin hitam ini mengeluarkan minyak sehingga terus terlihat mengkilap. Riwayat Tiang Guru ini dibawa oleh Teungku Muhammad Thohir Al Kahdi atau datu Ujung sejak 1862. Bagian yang terlihat berminyak ini dibiarkan tanpa cat. Tidak sedikit warga yang datang menggosok2an lembaran uang kertas pada tiang ini dengan harapan uang tersebut dapat membawa berkah.


http://www.kaskus.co.id/show_post/5316b78220cb17ae048b4640/392/baayun-maulid-di-desa-banua-halat-kabupaten-tapin
0 komentar
AKULTURASI DAKWAH DAN TRANSFORMASI NILAI
DALAM TRADISI BAAYUN ANAK
A. Latar Belakang
Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan akikah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal urang Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi baayun anak yang disandingkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau Maulid Rasul (sehingga kemudian menjadi baayun maulid) memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi Saw sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak.
Baayun anak adalah proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah simbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan sekaligus pembumian sosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi pembawa Islam, untuk mengikuti ajaran dan petuahnya. Sedangkan baayun anak penterjemahan dari manifestasi tersebut, karena dalam baayun anak terangkum deskripsi biografi Nabi Saw sekaligus doa, upaya, dan harapan untuk meneladaninya.
Sebagai sebuah tradisi yang saban tahun digelar oleh masyarakat banjar, yakni setiap tanggal 12 Rabiul Awal, terutama oleh masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara (khususnya) dan telah menjadi icon budaya Kabupaten Tapin Rantau, tradisi baayun anak atau baayun maulid sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang berharga untuk dikaji secara komprehensif. Menurut catatan sejarah, baayun anak semula adalah upacara peninggalan nenek moyang orang Banjar yang masih beragama Kaharingan. Gazali Usman (2000) menyatakan bahwa tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin (khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara). Namun kemudian, berkembang dan dilaksanakan diberbagai daerah di Kalimantan Selatan.
Tradisi ini menjadi penanda konversi agama orang-orang Dayak yang mendiami Banua Halat dan daerah sekitarnya, yang semula beragama Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Karena itu upacara baayun anak tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke daerah ini. Setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.
Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di Kampung Banua Halat biasanya melaksanakan upacara aruh ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika sawah menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan aruh ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra atau mamangan dari para Balian. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara adalah Balai.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya upacara tersebut bisa diislamisasikan. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian (tetuha adat), bamamang, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad Saw, dilaksanakan di masjid, sedangkan sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam (Gazali Usman, 2000: 5)
Nilai utama yang hendak ditanamkan oleh para ulama dalam upacara baayun anak dan mengisinya dengan pembacaan syair-syair maulud di Desa Banua Halat tersebut tidak lain sebagai bagian dari strategi dakwah kultural, yakni bentuk dakwah yang dilakukan melalui pendekatan aspek penjelasan dan tindakan yang bersifat sosiokultural dan keagamaan, jadi bukan dengan pendekatan politik, salah satunya adalah dengan mengunakan medium seni budaya (Azyumardi Azra, 2003). Atau oleh Hussein Umar (2003) dimaknai sebagai suatu upaya menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat. Karena pada akhirnya dakwah kultural menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah Islam (Munir Mulkhan, 2003).
Sehingga dengan model dakwah itu mereka tetap menjaga dan melestarikan sebuah tradisi dengan prinsip setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecintaan umat kepada Nabi Muhammad Saw, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berpemerintahan.
Berdasarkan kenyataan di atas, baayun anak adalah salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, ataupun membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama. Kedua ritus, secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan baayun anak, yang bahkan secara khusus dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Inilah dialetika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan penting yang hendak dikaji dalam penelitian ini.
1. Bagaimana sejarah, latar belakang, dan prosesi pelaksanaan baayun anak?
2. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam upacara baayun anak?
3. Bagaimana akulturasi Islam dan budaya dalam upacara baayun anak?
C. Batasan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian hanya difokuskan pada upacara baayun anak yang dilaksanakan di Masjid Keramat Banua Halat Kecamatan Tapin Utara Kabupaten Tapin Rantau pada setiap bulan Maulid, meliputi sejarah, latar belakang dan prosesi pelaksanaannya. Kemudian nilai-nilai yang terkandung serta dialektika yang terjadi antara agama dan budaya dalam pelaksanaan upacara tersebut. Diyakini bahwa tradisi tahunan baayun anak yang kemudian popular disebut sebagai baayun maulid adalah tradisi yang bersifat khas, sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang berharga untuk dikaji secara komprehensif.
D. Signifikansi
Melalui kajian ini akan dihasilkan pemahaman-pemahaman bagaimana Islam dalam perkembangannya telah berakulturasi dan berdialektika dengan budaya dan kepercayaan masyarakat lokal yang telah hadir sebelumnya, sebagaimana yang tampak dalam pelaksanaan tradisi baayun anak.
E. Review Kajian
1. Menurut Parsudi Suparlan (1986) kebudayaan dapat digunakan sebagai alat untuk melihat, mengkaji, dan memahami agama yang hidup dalam masyarakat. Landasan dasar pemikirannya bahwa setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan lain; setiap masyarakat mempunyai kebudayaan; dan setiap agama untuk dapat berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat harus menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan masyarakat.
2. Jadul Maula (2008) dalam tulisannya Islam dan Transformasi Budaya Lokal, menyatakan bahwa tema budaya lokal ini mengalami peminggiran, dibandingkan dengan misalnya dominasi wacana dialog antaragama. Padahal, untuk membangun keindonesiaan yang kokoh antara lain mesti dilakukan dengan mencintai dan mengembangkan sikap kreatif terhadap pluralitas, di mana lokalitas merupakan titik pijak yang tidak bisa ditinggalkan. Penting lagi untuk disadari adalah, bahwa ribuan kultur lokal yang hidup di setiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni yang eksotik, melainkan juga wilayah belajar dan sekaligus modal sosio-kultural dasar (kebangsaan). Karena, di dalam kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreativitas dan pencapaian-pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu.
3. Ahmad Fikri (2009), Relasi Islam dan Budaya Islam Lokal dalam Tradisi NU, melihat bahwa pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu representasi dari umat Islam di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajaran agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhfazat al qadm al-shlih wa al-akhdzu bi al-jadd al-ashlh (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
4. Anjar Nugroho (2007), Meretas Ketegangan Islam dengan Kebudayaan Lokal, menyatakan bahwa pemahaman dan penerimaan terhadap Islam Lokal adalah salah satu faktor untuk meniadakan praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrim yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
F. Kerangka Teori
Penelitian ini mengikut kepada kerangka teori berkenaan dengan interaksi atau dialektika antara agama dan budaya sebagaimana yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (2001: 196), sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena pada keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan; sedangkan kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Kuntowijoyo juga menegaskan bahwa interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan tiga cara. Pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan; Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar; Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Oleh itu, yang dikehendaki dari terjadinya dialektika antara agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sama-sama menguntungkan; agama akan memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan pemahaman terhadap agama.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis keagamaan sebagai upaya untuk memahami atau verstehen dari objek penelitian. Pendekatan antropologis adalah pendekatan kebudayaan, artinya agama dipandang sebagai bagian dari kebudayaan, baik wujud idea atau gagasan yang dianggap sebagai sistem norma maupun dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang mengikat seluruh anggota masyarakat (Dadang Kahmad, 2000: 53). Dengan kata lain, pendekatan antropologis adalah pendekatan kebudayaan dengan melihat agama sebagai inti dari kebudayaan; pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan sebagai acuannya (Maman, dkk, 2006: 94).
Dalam konteks di atas, pendekatan antropologis atau kebudayaan dimaksud difungsikan dalam dua hal. Pertama, sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan masyarakat Banjar melalui ritual batatamba; dialektika Islam dan budaya yang terjadi di dalamnya; mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan keagamaan masyarakat Banjar yang sesuai dengan ajaran yang benar. Kedua, untuk menumbuhkan sikap toleran pemeluk agama (masyarakat Islam Banjar) terhadap perbedaan-perbedaan lokal yang terjadi, karena suatu keyakinan agama yang damai kerap bisa berbeda dalam aspek-aspek lokalnya.
H. Referensi
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fikri, Ahmad. 2009. Relasi Islam dan Budaya Islam Lokal dalam Tradisi NU. http://buntetpesantren.org/
Ideham, M. Suriansyah (ed.). 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Propinsi Kalimantan selatan.
Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Maman, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Maula, Jadul. 2008. Islam dan Transformasi Budaya Lokal. Makalah, disajikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) 2008.
Nasution, Harun. 1975. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Nugroho, Anjar. 2002. Gagasan Pribumisasi Islam : Meretas Ketegangan Islam dengan Kebudayaan Lokal, Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara.
Zada, Khamami dkk. 2003. Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia. Yogyakarta: LKiS.


(sumber : http://zuljamalie.blogdetik.com/ )
0 komentar
Sebagai sebuah tradisi yang saban tahun digelar, Baayun Anak sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang berharga untuk dikaji secara komprehensif. 

Menurut catatan sejarah, Baayun Anak semula adalah upacara peninggalan nenek moyang yang masih beragama Kaharingan. Sejarawan Banjar, H. A. Gazali Usman menyatakan tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin (khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara). Namun kemudian, berkembang dan dilaksanakan diberbagai daerah di Kalimantan Selatan. 

Tradisi ini menjadi penanda konversi agama orang-orang Dayak yang mendiami Banua Halat dan daerah sekitarnya, yang semula beragama Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Karena itu upacara Baayun Anak tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke daerah ini.
Sebagaimana diketahui, setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16. 

Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upacara adalah Balai. Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya upacara tersebut bisa diislamisasikan. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam (Usman, 2000: 5) Realitas ini menandai dan menjadi pelajaran penting bagi juru dakwah sekarang, bahwa kehadiran dakwah pada prinsipnya tidak hanya menjadikan manusia yang didakwahi (madu) sebagai seorang Muslim, akan tetapi juga menjadikan etos, budaya, adat-istiadat, semangat, prilaku, pola hidup, sistem, dan semua yang melingkupi kehidupan masyarakat agar sesuai dengan ajaran Islam. 

Karena itu, jika gerakan menyeru manusia kepada ajaran Islam agar mereka menjadi seorang muslim diistilahkan dengan dakwah, sedangkan gerakan untuk menjadikan Islam sebagai pola dasar serta pijakan bagi kehidupan manusia disebut dengan istilah Islamisasi. Inilah yang disinggung oleh Alquran dengan perintah agar kita masuk ke dalam Islam secara kaffah, tidak hanya keyakinan (agama) akan tetapi juga sistem hidup.

Dialektika Agama dan Budaya Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. 
Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. 
Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama. Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).

Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan akikah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal urang Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi baayun anak yang disandingkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Rasul (sehingga kemudian menjadi Baayun Maulid) memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi Saw sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak

Baayun anak adalah proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah simbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan sekaligus pembumian sosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi pembawa Islam, untuk mengikuti ajaran dan petuahnya. 

Sedangkan baayun anak penterjemahan dari manifestasi tersebut, karena dalam baayun anak terangkum deskripsi biografi Nabi Saw sekaligus doa, upaya, dan harapan untuk meneladaninya. Baayun anak juga wujud nyata geneus lokal dalam menterjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buaian (ayunan)

Tuntutlah ilmu dari sejak dalam buaian (ayunan) hingga liang lahat. Ilmu yang dituntut adalah ilmu yang telah dianjurkan oleh Nabi; mencakup ilmu dunia dan ilmu akhirat. Barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan (kebahagiaan) di dunia, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan di kedua-duanya, maka tuntutlah ilmu (HR. Imam Muslim). 

Berdasarkan kenyataan di atas, yang dikehendaki dari terjadinya dialektika antara agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sama-sama menguntungkan, katakanlah win-win solution, bukan hal-hal yang menegangkan, apalagi merugikan. Sebab, harmonisasi antara keduanya; agama akan memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Oleh karenanya, ketika terjadi ketegangan dan pertikaian, disebabkan oleh seni, tradisi, budaya lokal atau adat-istiadat yang tidak sejalan dengan agama, diperlukan rekonsialisasi melalui sentuhan dakwah, yang sekarang dikenal sebagai pendekatan dakwah kultural. Dakwah kultural adalah dakwah bijak untuk mempertemukan (mengislamisasikan) tradisi budaya agar tidak bertentangan dengan ajaran agama. 

Jadi, dakwah kultural tidak hanya sebatas mengunakan medium seni budaya (Azyumardi Azra, 2003). Atau sebagai suatu upaya menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat (Hussien Umar, 2003). Namun, dakwah kultural menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah Islam (Munir Mulkhan, 2003). 

Sehingga, dengan begitu, sebuah tradisi tetap akan terjaga dan lestari, dan tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana halnya dengan tradisi baayun anak. Dengan demikian, baayun anak adalah salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. 

Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, ataupun membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama. Kedua ritus, secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan baayun anak, yang bahkan secara khusus dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal (bulan Maulid) sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Inilah dialetika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya. 

Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan melestarikan sebuah tradisi dengan prinsip setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecintaan umat kepada Nabi Muhammad Saw, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berpemerintahan.

0 komentar